Pengantar
Seperti yang biasa saya sampaikan dalam beberapa tulisan bahwa agama selalu mencakup dua entitas yang tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan, yaitu normativitas (teks, ajaran, belief, dogma) dan juga historisitas (praktik dan pelaksanaan ajaran, teks, belief, dogma tersebut dalam kehidupan konkrit di lapangan, seperti di lingkungan kehidupan komunitas (organisasi sosial keagamaan; organisasi profesi), masyarakat pedesaan (rural) atau perkotaan (urban), situasi konteks politik (regim pemerintahan order lama, orde baru, dan orde reformasi), jaman yang berbeda (abad tengah, modern, postmodern), tingkat pendidikan yang berbeda ( Pesantren, MI, Mts, Aliyah, atau SD, SMP, dan SMA dan lebih-lebih S 1, 2 dan 3 di perguruan tinggi dan otodidak), pelatihan atau training (halaqah, tarbiyah, pengajian majlis taklim), pendidikan umum dan pendidikan agama, pesantren kilat dan begitu seterusnya. Bahkan sekarang ada yang merasa cukup lewat internet, situs-situs, e book dan begitu seterusnya.Studi Agama dan Studi Islam kontemporer perlu memperhatikan dua entitas tersebut dengan cermat, sehingga para dosen, mahasiswa dan peminat studi agama dan studi Islam tidak terkejut-kejut dan tidak perlu kecewa , apalagi marah-marah meluapkan emosi , jika terjadi dan menjumpai “perbedaan tafsir keagamaan” pada level historisitas, meskipun idealnya memang tak perlu adanya perpecahan karena bersumber dari sumber ajaran normative yang sama, yaitu teks-teks atau nash-nash al-Qur’an and al-Sunnah. Realitas seperti ini berlaku untuk semua penganut agama-agama besar dunia, baik yang Abrahamik ( Yahudi, Kristen, Islam) maupun agama-agama non Abrahamik (Hindu, Budha, Konghucu, Sikh, Bahai dan lain-lain), serta tradisi-tradisi atau agama lokal yang lain selain yang disebut diatas.
Lantaran rumit dan kompleknya situasi yang dihadapi maka pendekatan antropologi terhadap agama diperlukan untuk memberi wawasan keilmuan yang lebih komprehensif tentang entitas dan substansi agama yang sampai sekarang masih dianggap sangat penting untuk membimbing kehidupan umat manusia baik untuk kehidupan pribadi, komunitas, sosial, politik maupun budaya para penganutnya. Diperlukan ‘peta’ wilayah yang cukup jelas sebelum masuk ke jantung kota yang sangat kompleks, minimal untuk mengetahui jalan-jalan protokol supaya tidak tersesat jalan, shukur kalau dapat diperoleh dan dilengkapi peta yang lebih detil sampai menjangkau ke jalan-jalan kecil, gang-gang, nomor rumah yang dituju dan begiutu seterusnya. Pendekatan antropologi terhadap entitas keberagamaan dan entitas keilslaman adalah ibarat pembuatan peta yang dimaksud. Pendekatan antropologi bersikap deskriptif, melukiskan apa adanya dari realitas yang ada, dan bukannya normative , dalam arti tidak ada keinginan dari si pembuat peta untuk mencoret, menutup atau tidak menggambar atau menampilkan alur jalan yang dianggap kira-kira tidak enak atau berbahaya untuk dilalui. Pendekatan antropologi harus bersikap jujur, apa adanya, tanpa ada muatan interes-interes atau kepentingan tertentu (golongan, ras, etnis, agam, gender, minoritas-mayoritas) untuk tidak membuat peta (keagamaan manusia) apa adanya. Disini bedanya dari corak pendekatan Teologi (dalam Kristen) atau Kalam dan fikih (dalam islam) lama, yang kadang tidak ingin menampilkan gambar dan peta keagamaan apa adanya karena adanya interes-interes golongan keagamaan (sekte, madzhab, organisasi keagamaan)- seperti penekanan pentingnya pada sejarah penyelamatan (salvation history) yang ditawarkan oleh agama tertentu dengan mengesampingkan agama- agama lain- sehingga peta atau gambar yang dibuat menjadi kabur dan tidak begitu jelas untuk melihat agama-agama secara utuh-komprehensif. Jika memang begitu, lalu apa yang dimaksud dengan pendekatan antropologi terhadao agama, atau sebutlah pendekatan antropologi agama?
Ciri fundamendal cara kerja pendekatan antropologi
Setidaknya ada 4 (empat) ciri fundamendal cara kerja pendekatan antropologi terhadap agama. Pertama, bercorak descriptive, bukannya normatif. Pendekatan antropologi bermula dan diawali dari kerja lapangan (field work), berhubungan dengan orang, masyarakat, kelompok setempat yang diamati dan diobservasi dalam jangka waktu yang lama dan mendalam. Inilah yang biasa disebut dengan thick description (pengamatan dan observasi di lapangan yang dlakukan secara serius, terstuktur , mendalam dan berkesinambungan). Thick description dilakukan dengan cara antara lain Living in , yaitu hidup bersama masyarakat yang diteliti, mengikuti ritme dan pola hidup sehari-hari mereka dalam waktu yang cukup lama. Bisa berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun, jika ingin memperoleh hasil yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkansecara akademik. John R Bowen, misalnya, melakukan penelitian antropologi masyrakat muslim Gayo,di Sumatra, selama bertahun-tahun. [1] Begitu juga dilakukan oleh para antropolog kenamaan yang lain , seperti Clifford Geertz. Field note research (penelitian melalui pengumpulan catatan lapangan) dan bukannya studi teks atau pilologi seperti yang biasa dilakukan oleh para orientalis adalah andalan utama antropolog. Talal Asad menggambarkan kerja antropologi sebagai berikut:
“Anthropologists who seek to describe rather than to moralize will consider each tradition in its own term-even as it has come to be reconstituted by modern forces – in order to compare and contrast it with others. More precisely, they will try to understand ways of reasoning characteristic of given traditions. Such anthropologists will also need to suppress their personal distaste for particular traditions if they are to understand them. Beyond that, they should learn to treat some of their own Enlightenment assumptions as belonging to specific kinds of reasoning- albeit kinds of reasoning that have largely shaped our modern world- and not as the ground from which all understanding of non-Enlightenment traditions must begin”.[2]
Kedua, Yang terpokok dilihat oleh pendekatan antropologi adalah local practices , yaitu praktik konkrit dan nyata di lapangan.[3] Praktik hidup yang dilakukan sehari-hari, agenda mingguan, bulanan dan tahunan, lebih –lebih ketika manusia melewati hari-hari atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani kehidupan. Ritus-ritus atau amalan-amalan apa saja yang dilakukan untuk melewati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan tersebut (rites de pessages) ? Persitiwa kelahiran, perkawinan, kematian, penguburan . Apa yang dilakukan oleh manusia ketika menghadapi dan menjalani ritme kehidupan yang sangat penting tersebut?
Ketiga, antropologi selalu mencari keterhubungan dan keterkaitan antar berbagai domain kehidupan secara lebih utuh (connections across social domains). Bagaimana hubungan antara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik. Kehidupan tidak dapat dipisah-pisah. Keutuhan dan kesalingterkaitan antar berbagai domain kehidupan manusia. Hampir-hampir tidak ada satu domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri, terlepas dan tanpa terkait dan terhubung dengan lainnya.
Keempat, comparative. Studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama. Talal Asad menegaskan lagi disini bahwa “What is distinctive about modern anthropology is the comparisons of embedded concepts (representation) between societies differently located in time or space. The important thing in this comparative analysis is not their origin (Western or non-Western), but the forms of life that articulate them, the power they release or disable.” [4] Setidaknya, Cliffort Geertz pernah memberi contoh bagaimana dia membandingkan kehidupan Islam di Indonesia dan Marokko. Bukan sekedar untuk mencari kesamaan dan perbedaan, tetapi yang terpokok adalah untuk memperkaya perspektif dan memperdalam bobot kajian. Dalam dunia global seperti saat sekarang ini, studi komparatif sangat membantu memberi perspektif baru baik dari kalangan outsider maupun outsider.[5]
Meskipun menyebut local practices untuk era globalisasi sekarang adalah debatable, tetapi ada empat rangkaian tindakan keagamaan yang perlu dicermati oleh penelitian antropologi. Pertama, adalah bagaimana seseorang dan atau kelompok melakukan praktik-praktik lokal dalam mata rantai tindakan keagamaan yang terkait dengan dimensi social, ekonomi, politik, dan budaya. Sebagai contoh ada ritus baru yang disebut “walimah al-Safar”, yang biasa dilakukan orang sebelum berangkat haji. Apa makna praktik dan tindakan lokal ini dalam keterkaitannya dengan agama, sosial, ekonomi, politik dan budaya? Religious ideas yang diperoleh dari teks atau ajaran pasti ada di balik tindakan ini. Bagaimana tindakan ini membentuk emosi dan menjalankan fungsi sosial dalam kehidupan yang luas?. Bagaimana walimah safar yang tidak saja dilakukan di rumah tetapi juga di laksanakan di pendopo kabupaten? Oleh karenanya, keterkaitan dan keterhubungan antara local practices, religious ideas, emosi individu dan kelompok maupun kepentingan sosial – poilitik tidak dapat dihindari. Semuanya membentuk satu tindakan yang utuh.
Dengan demikian, pendeka an antropologi dalam dalam studi Islam sangatlah diperlukan. Islam dimaksud disini adalah Islam yang telah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari , Islam yang telah melembaga dalam kehidupan suku , etnis, kelompok atau bangsa tertentu, Islam yang telah terinstitusionalisasi dalam kehidupan organisasi sosial, budaya, politik dan agama . Islam yang terlembaga dalam kehidupan masyarakat yang menganut madzhab-madzhab, pengikut berbagai sekte, partai-partai atau kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Hasil kajian antropologi terhadap realitas kehidupan konkrit di lapangan akan dapat membantu tumbuhnya saling pemahaman antar berbagai paham dan penghayatan keberagamaan yang sangat bermacam-macam dalam kehidupan riil masyarakat Islam baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.
Praktik kehidupan, Konteks dan keanekaragaman
Dalam kacamata antropologi agama, agama adalah ‘Ideas and practices that postulate reality beyod that which is immediuately available to the senses” [6] (Agama adalah sekumpulan ide-ide atau pemikiran dan seperangkat tindakan konkrit sehari-hari yang didasarkan atas postulasi atau keyakinan kuat adanya realitas yang lebih tinggi berada di luar alam materi yang biasa dapat dijangkau langsung dalam kehidupan materi). Apa yang disebut agama, dalam praktiknya, memang sangat berbeda dari satu masyarakat pemeluk agama tertentu ke masyarakat pemeluk agama yang lain, baik yang menyangkut sistem kepercayaan yang diyakini bersama, tingkat praktik keagamaan yang dapat melibatkan emosi para penganutnya, serta peran sosial yang dimainkannya. Agama-agama Abrahamik dan non-Abrahamik, dan lebih-lebih agama-agama lokal yang lain adalah sangat berbeda dalam penekanan aspek keberagamaan ysng dianggap paling penting dan menonjol. Ada yang menekankan pentingnya sisi ketuhanan (deities atau spirits), ada yang lebih menekankan kekuatan impersonal (impersonal forces) yang dapat menembus dunia alam dan sosial, seperti yang dijumpai di agama-agama di Timur. Atau bahkan ada yang tidak memfokuskan pada sistem kepercayaan sama sekali, tetapi lebih mementingkan ritual.
Pada umumnya, hasil field note research di lapangan dari berbagai kawasan, para antropolog hampir menyepakati bahwa agama melibatkan 6 dimensi : l) perform certain activities (Ritual), 2) believe certain things ( kepercayaan, dogma), 3) invest authority in certain personalities (leadership; kepemimpinan), 4) hallow certain text (kitab suci, sacred book), 5) telling various stories (sejarah dan institusi) , dan 6) legitimate morality (moralitas). Ciri paling menonjol dari studi agama – yang membedakannya dari studi sosial dan budaya, adalah keterkaitan keenam dimensi tersebut dengan keyakinan kuat dari para penganutnya tentang adanya apa yang disebut dengan “non-falsifiable postulated alternate reality” (Realitas tertinggi yang tidak dapat difalsifikasi)[7] Keenam dimensi keberagamaan tersebut jika dikontekskan dengan agama Islam, maka kurang lebih akan menjadi sebagai berikut : 1) Ibadah, 2) Aqidah, 3) Nabi atau Rasul, 4) al-Qur’an dan al-Hadis 5) al- Tarikh atau al-Sirah dan 6) al-Akhlaq. Keenam dimensi tersebut lalu dikaitkan dengan Allah (yang bersifat non-falsifiable alternate reality) juga.
Sebutlah ke enam dimensi tersebut – peneliti dan sarjana studi agama lain bisa menambah atau menguranginya – sebagai General Pattern dari agama-agama dunia, tetapi begitu keenam dimensi keberagamaan manusia tersebut masuk ke wilayah praktik sehari-hari di lapangan, maka ia akan masuk ke wilayah Particular Pattern.[8] Wilayah Partcular Pattern dari agama-agama tersebut adalah ketika agama bergumul dan masuk dalam dalam konteks perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya, juga geografi, perbedaan iklim dan kondisi alam yang berbeda-beda. Semuanya akan jatuh ke wilayah diversitas atau kepelbagaian. Dalam pandangan studi agama, lebih-lebih dalam perspektif antropologi agama, agama-agama di dunia tidak ada yang sama. Kepelbagaian ada disitu. Dalam local practices dari ke enam dimensi tersebut, yang ada hanyalah kepelbagaian dan keanekaragamaan. Tapi, dengan muncul dan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya martabat kemanusiaan (human dignity), maka para tokoh agama-agama tersebut juga menggarisbawahi pentingnya General Pattern (atau, dalam bahasa Islam : Kalimatun sawa)[9] yang ada di balik diversifikasi Partcular Pattern tersebut.
Penelitian dan studi antropologi agama akan sangat membantu memahami akar-akar kepelbagaian (diversity) dalam berbagai hal : kepelbagaian dalam menginterpretasi teks, perbedaan ritual peribadatan, model-model kepemimpinan, perjalanan kesejarahan, perkembangan kelembagaan agama, bagaimana pengetahuan dan ide-ide ( gender, hak asasi manusia, kemiskinan, lingkungan) didistribusikan dan disebarluaskan dalam masyarakat luas lewat organisasi sosial-keagamaan dan lembaga-lembaga pendidikan, bagaimana keadilan dan kesejahteraan diperbincangkan. Akan dapat dijelaskan dan direkonstruksi kembali bagaimana praktik keagamaan (Local practices) pada tingkat lokal dalam keterkaitannya dengan pelbagai macam penafsiran oleh para tokoh (da’I, kyai, dosen, pemangku adat, tokoh agama, guru, dosen) dan pemangku kepentingan lainnya serta akibatnya dalam perbedaan kehidupan sosial. Dengan bantuan pendekatan antropologi, semua kepercayaan agama terbuka untuk diperdebatkan dan ditransformasikan kearah yang lebih baik-humanis. Dan ketika semua aktor terlibat dalam perdebatan dan penjelasan tersebut , maka akan membawa kepada pemahaman bahwa agama-agama sangat terbuka untuk kemungkinan-kemungkinan[10] baru yang lebih kondusif untuk kesejahteraan manusia di muka bumi.
Studi Islam dan antropologi
Apa yang dibicarakan diatas menenui relevansinya dengan perkembangan terakhir studi hukum Islam dan usul fikih pada umumnya. Adalah Jasser Auda yang membuka perspektif baru tentang bagaimana sesungguhnya peran para jurist dan fakih dalam menentukan corak, perbedaan interpretasi serta tingkat kedalaman pemahaman keagamaan.[11] Diuraikan bahwa terjadi pergeseran pemahaman dan peran yang dimainkan oleh para fuqaha dalam setiap jaman. Sebenarnya hal ini tidak baru, karena para fuqaha lama sudah menjelaskannya. Yang penulis anggap baru adalah cara menjelaskan dan perangkat keilmuan yang diikutsertakan yang berbeda dari uraian terdahulu. Para pembaca semakin disadarkan betapa diversitas dan pluralitas pemahaman keagamaan itu adalah memang begitu adanya dan perbedaan tafsir keagamaan adalah min lawazim al hayah. Jika realitasnya memang begitu, maka bagaimana cara para pemimpin agama menyikapi dan mengantisipasinya? Bagaimana agama dijelaskan oleh para guru agama, para kyai, para dosen, para tokoh dan pimpinan organisasi sosial keagamaan di era global seperti sekarang ini ? Apakah fikih aghlabiyyah (fikih mayoritas) harus berlalu pada wilayah fikih aqalliyyah (minoritas), misalnya? Ada semacam living Qur’an dan living Sunnah atau Hadis yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah yang lain.
Pada era fikih era tradisional digambarkan bahwa peran fakih (para ahli agama) dianggap sederajat dengan Syariah, dan seolah-olah sederajat pula dengan al-Qur’an dan al Sunnah (Prophetic tradition).Bahkan apa yang disebut Prophetic tradition pun tidak atau belum dibedakan antar berbagai klasifikasi al-Hadis . Hadis-hadis misoginik, misalnya, dijadikan satu atau sederajat dengan hadis-hadis lain. (lihat ilustrasi dalam gambar 1).
Gambar 1
Sedangkan pada era fikih era modernitas, secara jelas sudah mulai dibedakan antara apa yang disebut Revealed Syariah, dengan al-Qur’an dan Prophetic tradition disatu sisi dan peran Fakih di sisi yang lain. Dalam wilayah Prophetic tradition juga sudah dapat dipilah-pilah, mana Hadis yang matan nya dapat diterima dan mana yang kiranya tidak dapat diterima, sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan literacy umat manusia. Sedang Fikih (pemahaman keagamaan Islam dan praktiknya di lapangan oleh seorang fakih) pun sudah jelas dimana tempatnya. Dia sudah jelas berada di luar wilayah apa yang disebut dengan Revealed Syariah. (lihat gambar 2).
Gambar 2
Sedangkan para era pemahaman fikih era postmodernitas, selain menggarisbawahi yang ada pada era Modernitas, tetapi peran fakih jauh lebih jelas lagi perannya dalam memahami agama. Yang baru disini adalah bahwasanya pemahaman para ahli hukum agama (jurist), selain terinspirasi oleh al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi dia sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh pandangan hidupnya sendiri, lingkungan yang ada disekitarnya, bahkan tingkap ilmu pengetahuan yang dimiliki umat manusia saat itu. Faktor-faktor inilah yang ikut membentuk pandangan hidupnya. (Competent Worldview). Sedang Competent worldview nya sangat dipengaruhi oleh tingkat penguasaan ilmu pengetahuan (Sciences), baik pengetahuan alam, sosial, budaya dan humanitas kontemporer yang mengelilinginya). Artinya penafsiran teks-teks kitab suci dan juga al-sunnah dan al-hadis sangat bersifat lokal. Yaitu lokal dalam arti ditentukan oleh tingkat penguasaan ilmu pengathuan sang jurist itu sendiri. Dan Fikih tidak bisa tidak adalah sangat ditentukan oleh kondisi lokal (sosial, politik, budaya, ekonomi), ilmu pengetahuan yang dikuasi oleh para ahli hukum agama (jurist) tersebut. (Lihat gambar 3).
Gambar 3
Dan sangat dimungkinkan munculnya diversifikasi dan kepelbagaian interpretasi dalam beragama. Dalam tingkat terakhir ini, menurut hemat penulis, pendekatan antropologi agama dapat membantu dan bahkan bekerjasama dengan studi Islam untuk menjelaskan dan melerai berbagai isu yang sulit dipecahkan atau dijelaskan dengan hanya menggunakan salah satu pendekatan saja , apalagi pendekatan kekuasaan, pendekatan mayoritas – minoritas, tanpa mengaitkan dan mempertautkan antara Fikih dan Usulnya dengan antropologi agama.
Cupuwatu, Yogyakarta, 12 Januari 2011
[1]John R. Bowen, Religions in Practice: An Approach to the Anthropology of Religion, Boston, Allyn and Bacon,2002, h. 2
[2]Talal Asad, Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam. Baltimore and London, The Johns Hopkins University Press, l993, h.200. Garis bawah dari penulis.
[3]Ketika disebut local practices (praktik-praktik keagamaan lokal, sebagai hasil interpretasi para aktor di lapangan ketika berjumpa dengan tradisi dan adat setempat-lokal), maka disinilah masalah terbesar, untuk tidak menyebutnya denga ketegangan, dalam studi Islam muncul. Dalam studi Islam, khususnya dari literatur hadis dikenal istilah “bid’ah” – baik yang hasanah maupun sayyiah.Dengan sedikit menyederhanakan, praktik lokal dianggap keluar dari ajaran Islam yang otentik, sedangkan menurut antropolog justru praktik lokal inilah yang harus diteliti dan dicermati dengan sungguh-sungguh untuk dapat mememahami tindakan dan kosmologi keagamaan manusia secara lebih utuh.
[4]Talal Asad, Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modenity, Stanford, California, Stanford University Press, h.17, Cetak miring dari penulis.
[5]Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay,” , dalam Richard C. Martin (Ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, Tucson, The University of Arizona Press, l985, h. 196. Juga Kim Knott, “Insider/Outsider perspectives” dalam John R. Hinnells, The Routledge Companion to the Study of Religion, London and New York, Routledge, 2005, h.243-255.
[6]Sudah barang tentu banyak sekali definisi agama yang diajukan oleh para teolog maupun para ahli studi agama, dan lebih-lebih para antropolog agama. Definisi tersebut diatas diambil dari John R. Bowen, op.cit, h. 5
[7]James L. Cox, A Guide to the Phenomenology of Religion: Key Figures, Formative Influences and Subsequent Debates, London and New York, The Continuum International, Publishing Group, 2006, h.236.
[8]Diolah kembali dari tulisan Richard C. Martin, “Islam and Religious Studies: An Introductory Essay”, dalam Richard C. Martin (Ed.), ibid. , h. 7-8.
[9]Upaya baru yang digalakkan oleh para ulama dan muslim scholars di seluruh dunia untuk menggarisbawahi kembali General Pattern Kalimatun Sawa’ (Common Word) tersebut. Lebih lanjut Waleed El-Ansary and David K. Linnan (Ed.), Muslim and Christian Understanding: Theory and Application of “A Common Word”, New York, Palgrave Macmillan, 2010.
[10]Diolah kembali dari tulisan Richard C. Martin “Islam and Religious Studies: An Introductory Essay” dalam Richard C. Martin (Ed.), ibid. h. 7-8.
[11]Jasser Auda, Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, London, The International Institute of Islamic Thought, 2008.
Prof. saya dulu mahasiswa anda diprogram pasca sarjana jurusan SQH angkatan II. Saya tertarik dengan istilah “faqih” (tentunya berbeda dengan fiqh) yang menambah scientifica competent wordview dalam analisis interpretasinya;
Alih-alih, saya sekarang kuliah lagi di pasca sarjana mengambil jurusan “managemen keuangan” di Universitas Jember sekarang semester II;
Dengan bekal Ilmu Tafsir sebagi basic studi keilmuan saya (s-1 dan s-2), dalam satu semester ini saya telah menulis “risalah/artikel” tentang MANAGEMEN KEUANGAN HAJI BERBASIS KESEJAHTERAAN KELUARGA; Penafsiran Kata ‘Istatho’a dalam Qs. Ali Imron : 97. Teori yang saya gunakan adalah ‘time value of money’ yang dikenal dalam kosentrasi management keuangan untuk menentukan wajib haji.
Komentar saya dengan tulisan anda adalah pengetahuan ttg antropologi dari sebuah tempus dan locus sangat penting untuk menentukan sebuah hukum. Bagaimana bisa dipahami pada era sekarang apabila wajib haji ditentukan oleh ketersediaan unta yang kuat (rahilah) dan bekal (zaad). Di era modern (rahilah) diartikan oleh kendaraan dan (zaad) diartikan dengan akomodasi haji. Pemahaman ini belum cukup sebab beberapa hal, (1). tidak memecahkan dan menjawab masalah di saat nilai uang menentukan seorang mukallaf disebut ‘musthati’ haji’ (di indonesia membutuhkan kurang lebih 30 jt untuk bisa haji dan 60 jt apabila suami-istri). (2) ketika nilai uang menjadi standard mustathi’ haji maka hal ini terkait dengan perekonomian dan kesejahteraan keluarga yang juga disebutkan dalam al-Qur’an (qur’an; menjaga keluarga dari api neraka, supaya takut meninggalkan anak cucu miskin dalam keadaan miskin; dan hadis, kalau bisa meninggalan warisan yang layak).
istimbat ulama’ salaf belum cukup menjawab problematika haji di zaman twitter dan facebook. Ulama’ modern terlalu sibuk dengan kolonialisme dan membawa islam dalam keterpurukan. di zaman sekarang, beragam aspek dengan wordview yang luas diperlukan secepatnya.
semoga, istilah faqih ini dapat menjelaskan dan membedakan masalah yang sudah sedemikan begitu rumit…. Amin.
semoga artikel ini bermanfaat bagi semua kalangan, sukses prof.
syukron. izin untuk rerferensi, moga jadi sesuatu yang bermanfaat.
wahh.. liat tulisan bapak teringat ma skripsiku yg ngangkat tema tentang bapak .. hehehe.. 😀 ,, tapi dulu aku belom tau klo ternyata pak amin juga memiliki blog sendiri .. oiya,, bgmn kabarnya pak? dah kembali ke almameternya? selamat mengajar kembali klo gitu .. ^_^
semoga bisa ketemu bapak suatu saat nanti………
Per 15 Maret 2012 adalah peluncuran Film “Mata Tertutup” karya Garin Nugraha. Film ini untuk mengasah daya kritis dan kehati-hatian para generasi muda terhadap ajaran sempit radikalisme. Kepada sahabat-sahabat yang memiliki anak atau adik-adik yang masih SMU atau awal KULIAH, disarankan untuk melihat film ini.
thanks, tulisannya, mhn izin to di copas
Salam Prof. Amin. Berikut merupakan link pdf salah satu tulisan Prof. Amin di Jurnal Pendidikan Islam, terbitan Fakultas Tarbiyah (sekarang Fakultas Ilmu Agama Islam UII).
Perspektif “Link and Match” Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Agama Islam (Rekonstruksi atas Tinjauan Metodologi Pembudayaan Nilai-nilai Keagamaan)
Semoga bermanfaat.
Salam. Yuli Andriansyah
pERMISI Prof.saya salah satu mahasiswa Antaropologi Uncen….Tulisannya baik sekali.Kiranya dapat bermanfaat bagi semua yang membaca.Mohon ijin copy sebagai bahan tambahan dalam perkuliaan mata kulih antropologi Agama.sukses.GBU
saya sedang memperdalam tentang Studi Islam dan ilmu ilmu yang terkait dengannya, semoga sya bisa memahami hal itu dn terimakasih tentag penjelasannya disini pak
Assalamu’alaikum wr wb. Mohon Ijin baca u referensi saya belajar..Barakallah..amin.
alhamdulillah. nice article. izin copy prof
Tulisan Prof. Amin mengingatkan saya ketika masih kuliah di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang (sekarang UIN). Bahwa Islam dengan karakternya yang fleksbel (sholihun likulli zaman wa makan) mampu menjawab persoalan zamannya. Termasuk menyelami dan mengkaji secara kritis fenomena sosiologis dan antropologis. Saya sepakat bahwa berbagai kecenderungan manusia secara antropologis harus didekati dengan pemahaman Islam yang kontekstual bukan doktriner teologis saja. Sebab, Islam lahir sebagai rahmatan lil alamin bukan hanya untuk budaya Arab saja tapi manusia sedunia yang memiliki akar budaya yang sangat heterogin.