Pengantar
Kesuksesan film bertema keagamaan Islam, Ayat-Ayat Cinta, yang diangkat dari novel Habiburrahman El-Shirazy dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo sungguh menyisakan banyak pertanyaan bagi insan perfilman, pengamat film, penulis naskah, produsen film, penonton, cerdik pandai dalam dunia film, sarjana komunikasi, bahkan para sarjana agama (religion scholars). Mereka sedang mencari jawab mengapa film tersebut meraih sukses besar? Berminggu-minggu bertengger dalam a box-office? Ditonton tidak kurang dari 4 juta penonton, di antaranya adalah presiden RI? Yang akhirnya, perlu diangkat menjadi tajuk seminar khusus tentang Sinema, Media dan Islam, oleh Jogya-NETPAC Asian Film Festival (JAFF).[1]
Membahas agama dan media, dan lebih-lebih lewat tinjauan hermeneutis, menurut Stewart Hoover dan Knut Lundby, setidaknya perlu melibatkan analisis tiga pilar teori yaitu teori agama, teori budaya dan teori media. Ketiganya perlu dilihat secara utuh-saling-terhubung (interrelated web) antara yang satu dan yang lain. Tidak bisa membahas yang satu dan meninggalkan yang lain.[2] Dengan dipandu oleh triangulasi teori ini, makalah ini akan mencoba menjelaskan mangapa film Ayat-Ayat Cinta sukses besar, tanpa memperoleh tanggapan yang miring-negatif dari para ulama, audience dan penonton pada umumnya ? Pertama, akan menjelaskan entitas agama lewat kacamata hermeneutika keagamaan (Islam), Kedua, objektifikasi agama dalam kehidupan sosial-budaya (living culture), dan ketiga bagaimana insan media, dalam hal ini penulis novel dan sutradara film, dapat mengolah, mengubah, mendialogkan, menjembatani, dan mendamaikan ‘ketegangan’ antara agama dan budaya dalam masyarakat, dalam bingkai alur ceritera riil maupun imajinatif yang menarik-memikat lewat layar lebar film.
Hermeneutika keagamaan Islam : Text, Author dan Reader
Agama sebagai sumber legitimasi nilai (sebagai checker dan balancer) tindakan manusia sampai kapanpun memang tak terbantahkan. “Kehadiran” Tuhan dalam masyarakat (theodicy) yang kemudian disebut oleh Peter L. Berger sebagai “langit suci” (the sacred canopy) yang melindungi masyarakat dari situasi ketidakbermaknaan (meaningless), kekacauan (chaos), dan keputusasaan (hopeless) juga tak terbentahkan.[3] Menjadi problematik ketika keberagamaan yang “otentik” ini kemudian dihadirkan, diinterpretasikan, dan diekspresikan keluar dalam ragam bahasa- sosial-budaya yang menyejarah dan membudaya dalam masyarakat. Kesadaran beragama manusia kemudian menjelma dalam tiga kelompok wilayah besar yaitu, wilayah idea (thought; pemikiran), action (tindakan; perilaku) dan fellowship (persekutuan; persyarikatan).[4] Ketika agama memasuki dataran atau altar historis-sosial-kultural seperti ini, maka problem penafsiran atau hermeneutik muncul dengan sendirinya. Hermeneutik adalah perbincangan tentang persoalan pemahaman atau penafsiran manusia (fiqh al-tafsir; fiqh al-ta’wil) terhadap realitas yang ada disekelilingnya, termasuk di dalamnya agama dan kehidupan sosial-budaya-ekonomi-politik-hukum yang mengitarinya (al-nas wa ma haulahu) baik yang menyangkut tentang teori, metode, pendekatan, filosofi, aliran-aliran, tokoh, maupun tema, isu-isu aktual dan begitu seterusnya.
Dalam hermeneutika keagamaan dan studi keislaman kontemporer dikenal analisis hermeneutis dengan menggunakan skema segi tiga : Text, Author dan Reader.[5] Penulis berpendapat bahwa wilayah Text (teks) adalah sangat penting bagi umat beragama. Lebih-lebih teks kitab suci.[6] Sebegitu pentingnya, sehingga tanpa disadari kadang-kadang ia meninggalkan dimensi rasionalitas-kritis dan masuk dibawah tekanan dan tuntutan dimensi psikologis manusia. Jika telah kehilangan dimensi rasionalitas-kritisnya, maka sitiran dan kutipan kitab suci bisa berubah menjadi sangat peka dan over-sensitive, dan cenderung emosional bahkan tak menutup kemungkinan dapat berubah menjadi kekerasan (violence) psikis maupun pisik. Meminjam bahasa filsafat ilmu, wilayah kitab suci itu adalah wilayah nonfalsifiable (tak dapat difalsifikasi/tak dapat disalahkan). Teks kitab suci adalah taken for granted bagi semua umat beragama.[7] Sedangkan yang menjadi kajian penting dan menarik dalam hermeneutika kontemporer adalah wilayah kajian teoritik sekaligus praxis yang berada dalam dua wilayah cakupan dua kaki segitiga, yaitu wilayah Author dan Reader.[8] Kedua wilayah inilah yang terkait dengan masalah kemanusiaan yang sesungguhnya. Inilah wilayah historisitas kemanusiaan yang debatable, qabilun li al-niqasy wa al-taghyir (bisa didiskusikan, diperbincangkan, didialogkan, disesuaikan, diadaptasikan, dan diubah dimana perlu) karena dinamika masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan, globalisasi ekonomi dan media, hubungan internasional yang semuanya punya dampak yang cukup signifikan pada sendi-sendi kehidupan manusia.
Dalam kajian wilayah Author (penafsir, pengarang, pencipta, penulis novel, pembuat scenario film, pelaku sejarah pada era tertentu) dan Reader (penafsir, pengamat, peneliti, community of researchers, penonton, kritikus film ) inilah, ketiga ranah kehidupan keagamaan yang disebut Joachim Wach sebagai idea (pemikiran), action (tindakan) dan fellowship (persekutuan) menjadi wilayah kajian yang sangat penting dalam hermeneutika keagamaan. Munculnya berbagai aliran dan kelompok penafsir agama (seperti diuraikan oleh Tariq Ramadan ada 6 trend besar pemikiran keislaman kontemporer), perlunya penafsiran ulang terhadap corak pemahaman (fikih) era tertentu (seperti belakangan muncul pemikiran tentang ‘fikih’ minoritas Muslim Eropa, yang dalam beberapa hal tertentu perlu berbeda dari fikih mayoritas Muslim di Pakistan, Mesir, Saudi Arabia dan lain-lain),[9] silang pendapat, saling beradu argumen dan kritik (antara Muslim yang dicitrakan sebagai Fundamentalis dan Moderat),[10] agenda rekonstruksi dan reformulasi pemikiran Islam (seperti keprihatinan dan sekaligus usulan yang diajukan oleh ulama-intelektual muslim Progressif)[11] yang dipicu oleh perkembangan situasi sosial, ekonomi, budaya, iptek, hubungan internasional dan begitu seterusnya, menjadikan “agama” sebagai institusi yang memberi legitimasi nilai menjadi bagian persoalan kemanusiaan yang tak pernah kunjung selesai dan selalu menarik untuk diperbincangkan. Lebih-lebih pada masa transisi dari era industri ke informasi, dari sentralisasi ke desentralisasi, dari dulunya semata-mata bertumpu pada tatanan sosial dan agama yang sangat hirarkis ke pengembangan individu-individu berbasis pada pengelompokan jaringan-jaringan (networks).[12] Lagi-lagi mengikuti bahasa Berger, terjadi keterhubungan yang sangat kompleks dan kesinambungan yang tidak putus antara eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi agama yang berjalan berkait kelindan antara ketiganya.
Tiga proses siklis kehidupan beragama : Eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi
Dalam hidupnya yang fragile (lemah, sakit, mati, tak berdaya), manusia selalu memerlukan pelindung suci untuk dapat melindungi diri dari segala kepungan kelemahannya. Pelindung yang suci ini disebut Tuhan oleh teologi. Tuhan dijadikan sebagai postulasi dan asumsi dasar untuk menjamin keselamatan hidupnya dari segala macam gangguan, ancaman dan kesulitan. Postulasi atau asumsi dasar ini tidak dapat difalsifikasi sama sekali. Non-falsifiable postulated alternate realitiy adalah matra bagi semua agama. Matra yang sui generis atau unik ini tidak dimiliki oleh pengalaman dan disiplin ilmu yang lain. Pengalaman yang menggetarkan dan sekaligus mengagumkan. Kategori yang “suci” (Sacred) dalam kehidupan. Pengalaman otentik yang oleh umat Islam disifati dengan 99 sifat Tuhan (al-asma’ al-husna). Pengalaman dan perjumpaan otentik dengan Zat yang Maha Agung , yang disebut-sebut sebagai Non-falsifiable postulated alternate reality (Realitas alternatif yang diasumsikan pasti benar adanya dan tidak bisa disalahkan/difalsifikasi),[13] rupanya tidak dapat telanjang-abstrak-ngawang-ngawang (Jawa). Pengalaman ini tidak cukup hanya terdiam statis dalam psyche (Mind) manusia. Pengalaman ini perlu keluar dari psyche (Mind) dan membentuk “budaya” sehari-hari yang dapat mengikat, mengatur, membimbing dan mengawasi ritme kehidupan manusia (Matter). Manusia sebagai “subjek” sangat berperan aktif dalam mengkonstruk dan membangun pranata sosial yang dapat melindunginya dari berbagai ancaman dan godaan. Pranata sosial yang dibentuk oleh manusia adalah bentuk eksternalisasi dari pengalaman beragama umat manusia. Disini terbentuk hubungan dialektis antara manusia dan masyarakatnya. Dalam batasan logika ini, manusia merupakan “subjek” yang eksis-aktif-otonom dan kemudian membentuk masyarakat berikut pranata sosial yang menyertainya. Ada relasi timbal balik antara mind dan matter dalam konsep Berger.[14]
Ketika pengalaman batin, esoteric, mendalam, ruhaniah manusia ini diekspresikan dan diungkapkan keluar, lewat pranata sosial yang dikukuhkannya, maka ia dengan sendirinya membentuk proses Objektifikasi. Meskipun masih ada hubungan dengan pengalaman yang disebut Non-falsifiable postulated alternate reality, tetapi bentuk ekspresi keluar ini, pada gilirannya, akan terpisah dari akar tunggangnya. Setidaknya ada 7 wilayah hasil proses objektifikasi agama dalam masyarakat yang ditandai oleh para ilmuan sosiologi agama dan studi agama-agama. Pertama, Percaya atau mengimani adanya suatu Zat Maha Agung (Believe certain things). Kedua, Melakukan aktifitas dan kegiatan tertentu yang dilakukan secara teratur-berulang-ulang (Perform certain activities). Ketiga, Menanamkan otoritas dan kewibawaan pada pemimpin dan tokoh-tokoh panutan yang dipercaya dan dijadikan rujukan (Invest authority in certain personalities). Keempat, Menghormati kitab suci dan teks-teks yang dianggap otoritatif (Hallow certain texts). Kelima, Mencatat dan mendokumentasikan berbagai peristiwa sejarah yang penting (Tell various stories). Keenam, Membentuk kelompok sosial yang kemudian menyepakati kode etik, hukum, syari’ah dan sistem moral (Legitimate morality). Ketuju, Materialisasi simbol-simbol keagamaan (Material and artistic dimensions) dalam wujud bangunan seni arsitektur tempat ibadah, pahat, suara, tari, lukis, kaligrafi, karawitan, sinematografis, dan seterusnya yang dapat membantu menyatukan, mengkonsentrasikan dan menarik perhatian para pengikutnya.[15]
Ketujuh item Objektifikasi agama tersebut , dengan segala dinamika dan kompleksitasnya, masyarakat akan mengkonstruk kesadaran manusia untuk berperilaku tertentu sesuai aturan yang berlaku dengan irama dinamika internal dan eksternal masyarakat. Dengannya manusia berhubungan dan bergaul dengan lainnya , dengan etnis, ras, kelas, sex dan pengikut agama lain sehingga tercipta sub-relasi dari relasi besar antara manusia dan masyarakatnya. Keseluruhan pola interaksi, dinamika internal dan eksternal, pranata sosial yang terbentuk dan produk-produk sosial lainnya, pada gilirannya, bersama-sama dengan proses eksternalisasi dan objektifikasi yang terus berjalan akan diserap lagi oleh manusia sebagai bagian dari masyarakat. Proses terakhir ini disebut dengan internalisasi. Nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat secara simultan dapat diterima, dipegang teguh, dan dijalankan-diamalkan, tetapi pada waktu yang sama juga ada yang bisa dipertimbangkan ulang, diuji kembali, dikritisi, diseleksi, dan bahkan ditolak. Dalam proses yang amat kompleks ini, manusia menjadi subjek yang otonom tetapi sekaligus juga heteronom, mempunyai kebebasan tetapi juga terdeterminasi oleh masyarakat dan lingkungannya. Dapat mentaati aturan-aturan dan norma-norma sosial-agama yang dibangun dan disepakati oleh masyarakat, tetapi pada saat yang sama juga dapat mengkritisi pemahaman-pemahaman, aturan-aturan, norma-norma, kesepakatan-kesepakatan dan pranata sosial yang dulu pernah diciptakan dan disepakati oleh generasi terdahulu tetapi sekarang tidak lagi relevan dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan sosial-kemasyarakatan. Ini selaras dengan yang diungkapkan Alf G. Linderman sebagai berikut :
“… Thus, where stories and meta-stories used to be shared stories in the local context, such stories can still in a sense be shared but now in a much more complex fashion. All elements of one individual’s meta-story might be shared with others, but all elements do not necessary have to be shared by the same group of people. Individuals can compose their own stories by combining elements from different contexts.”[16]
Budaya popular di tangan novelis dan sineas Muslim
Dalam telaah analisis (sosiologi) agama dan budaya sekaligus seperti diatas, maka agama—apapun agama itu—selalu mengandung hubungan trialektis antar ideas, action dan fellowship. Hubungan trialektis antara eksternalitas, objektifitas dan internalitas. Lalu, apa hubungan antara media, dalam hal ini adalah film, dan (sosiologi) agama ? Pertanyaan yang muncul adalah mengapa film yang bertema keagamaan, dalam era modernitas dan global seperti saat sekarang ini, masih mampu menarik perhatian jutaan penonton, menjadi a box office berminggu-minggu, dan memiliki daya tarik luar biasa melebihi daya tarik film-film non-keagamaan? Mengapa film keagamaan yang genuine masih dapat menarik jumlah penonton yang sedemikian besar ?[17] Mengapa tidak ada resistensi dari (majelis) ulama dan tokoh masyarakat, dan pimpinan organisasi keagamaan? Mengapa mereka seolah-olah menyatakan ‘amin’ (setuju) saja terhadap semua yang terungkap dan tersaji dalam film tersebut? Mengapa tidak ada kritik ? Hal ini sungguh penting, untuk dijadikan bahan kajian dan sekaligus sebagai tolak ukur film-film keagamaan yang akan datang, yang ingin meraih sukses. Para insan film sendiri “terkagum-kagum”, dan ingin mencari tahu “whyness”nya kesuksesan film yang secara genuine dapat mengangkat tema keagamaaaan, tetapi mampu meraih simpatik khalayak luas. Biasanya, film keagamaan tidak begitu menarik untuk ditonton, karena kalau tidak dogmatik, ya kontroversial. Menurut penulis, lewat telaah analisis sosiologi agama dan budaya, suksesnya novel dan film tersebut karena Pertama, penulis novel maupun sutradara film Ayat-Ayat Cinta mampu melakukan terobosan tafsir keagamaan secara kreatif-sinematografis dan sekaligus mampu menampilkan altar kontekstual-sosiologis terhadap nilai-nilai Islam yang adil dan toleran kepada seluruh umat manusia, baik laki-laki dan perempuan, dengan cara memenuhi semaksimal mungkin ke tujuh wilayah objektifikasi agama dalam ranah kehidupan sosial-budaya masyarakat dengan utuh dan baik. Kedua, penulis novel dan sutradara masih mampu menyelamatkan aspek penting dan distingtif dari entitas agama, yaitu apa yang disinggung diatas sebagai wilayah non-falsifiable postulated alternate realities. Agama memang berbeda dari aktifitas ekonomi, sosial, biologi, psikologi dan begitu seterusnya, tetapi ia tak bisa pisah seluruhnya dalam poses historisitasnya di tengah pergumulan budaya yang hidup. Ketiga, tidak adanya penolakan dari masyarakat Muslim, ulama lebih-lebih, karena penulis novel dan sutradara film mampu mentransformasikan, membungkus dan mengemas ulang ketegangan-ketegangan dogmatik antara wilayah aqidah (system of belief), fikih (hukum; legal system) dan tawasuf-sufism (the art of spirituality) yang-selalu-saja-ada-dalam-wilayah-dalam (intern)-agama (Islam) dalam kemasan budaya popular – lewat karya sinematografik yang tersaji secara kontekstual-sosiologis dengan jitu.
Tujuh syarat (bisa lebih dan bisa kurang, tergantung alur ceritera yang diperlukan) objektifikasi (sosiologi) agama yang penulis maksud ada dalam novel Ayat-Ayat Cinta, antara lain adalah sebagai berikut : Ayat-Ayat Cinta menceriterakan perjoangan hidup pemuda Indonesia bernama Fahri (identitas kultural Islam Indonesia) anak penjual tape[18] (institusi ekonomi kelas menengah kebawah). Setelah sekolah atau mondok di pesantren (Institusi pendidikan Islam pra-modern yang terus hidup hingga sekarang dan telah membudaya dalam kehidupan umat Islam), sambil menyelesaikan sekolah tsanawiyah dan aliyah (institusi pendidikan modern selevel dengan sekolah) yang ada di pondok pesantren itu, ia berjoang melanjutkan studi ke al-Azhar (institusi pendidikan Islam yang kharismatik-karena usianya yang lebih dari l000 tahun; keinternasionalan Islam).
Sebagai seorang Muslim, segala peri kehidupan tokoh utama Fahri merujuk kepada ajaran Islam yang sebenarnya (Belief system; aqidah). Hidupnya benar-benar terencana, kapan ia harus menyelesaikan S 1, kapan dia harus menyelesaikan S 2 bahkan S 3 dan kapan dia harus berumah tangga[19] (Kritik sosial kepada para seniornya di Mesir yang jarang selesai kuliah tepat waktu, dalam semua jenjang). Semuanya sudah terjadwal rapi (Birokrasi akademik modern-Eropa yang masuk dan diterima dalam sistem pendidikan Islam; ada ketegangan kreatif dan dialog budaya Islam dan Eropa dalam sistem birokrasi-administrasi pendidikan). Kerja keras selama di Mesir (Mencoba mengikuti kebiasan para seniornya yang bekerja pada musim panas dulu di negara-negara Eropa), juga selama 2 bulan pada musim haji di Saudi Arabia, Fahri menghidupi dirinya dengan bekerja sebagai penerjemah[20] (mencoba keluar dari jeratan budaya para pendahulunya yang ternyata menyita banyak waktu dan tidak segera selesai kuliah dan tidak segera lulus) yang diterbitkan oleh penerbit di tanah air (keluar dari tradisi seniornya yang tidak sekreatif Fahri dalam memanfaatkan peluang dan kesempatan).
Sebagai pemuda yang saleh, taat beribadah (Perform certain activities), bertangggungjawab, ulet belajar (Ethics and morality), berjoang keras membiayai kehidupan (Believe certain things dalam etos-perilaku ekonomi modern; menentang etos pasrah pada nasib[21] yang biasa ada dalam paham teologi jabariah), ia diincar, paling tidak, oleh empat orang gadis cantik (Social (inter)action yang berdimensi luas, melibatkan system of law and morality; hallow certain text). Maria, putri Boutros Girgis, tetangga satu flat yang Kristiani (Hallow certain text; dialog keras antara system of classical dan modern Islamic law and morality; modern-international relation) tapi mencintai al-Qur’an[22] (Dialog antar agama; hubungan sosial antar umat beragama, hallow certain texts), Nurul Azkiya , putri Kiai kondang di Indonesia (Keterpanggilan ulang untuk kembali kepada nilai-nilai primordialisme-lokalism-religionism); Noura, tetangga tempat kostnya[23] (Neighborhood yang baik; kehidupan sosial sehari-hari yang pasti ditemui tanpa preasumsi-preasumsi keagamaan maupun etnis; dan Aisha, gadis Jerman keturunan Turki-Palestina (Mencoba keluar dari ikatan primordialisme-lokalisme-keindonesiaan; kembali menghadapi dilemma realitas global dan trans-nasionalisme yang menuntut cara berpikir keagamaan yang baru) yang bertemu di metro[24] (Transportasi modern membuka segala macam pilihan-pilihan hidup era modern; kondisi dan ruang kehidupan yang berubah) yang ternyata keponakan kawannya di al-Azhar (International relation and communication; menjelaskan bahwa Fahri dulu dan sekarang memang telah berbeda; badan dan pengalaman kecilnya memang di pesantren Indonesia, tapi ia sekarang telah mendunia-metropolitan dengan pergaulan internasionalnya yang luas.
Novel dan Film Ayat-ayat Cinta sarat dengan pesan-pesan bagaimana seorang muslim atau muslimah berhadapan dan bergumul dengan realitas kehidupan kontemporer era modern-globalisasi yang penuh warna-warni dan keberagamaan. Ada pahit dan manis, ada keraguan dan kegetiran, tetapi juga ada janji-janji kemudahan, ada nilai-nilai yang statis dan sekaligus ada nilai-nilai yang dinamis disitu, namun semuanya disajikan dan dikemas dalam sajian yang santun, halus dan sopan. Nilai-nilai Islam mana yang harus bertahan dalam pusaran waktu dan perubahan jaman yang amat dahsyat ini ? Tanpa dipaksa-paksa dan didorong-dorong, nilai-nilai keberagamaan dan budaya Islam pasti akan berhadapan dengan nilai-nilai dan budaya agama lain, berhadapan dan berdialog dengan nilai-nilai modernitas, kemudian diuji kekonsistensiannya, tapi ada juga sebagian umat Islam yang terpaksa (Muslim migrant di Eropa, Amerika, Australia) harus pandai-pandai dan berani menghadapi realitas baru, beradaptasi dengan lingkungan terdekatnya (Fikih minoritas), tanpa harus terganggu dan diganggu oleh fikih atau pemikiran keagamaan mainstream atau mayoritas, harus mentatati dan menghormati keberadaan orang atau kelompok lain (aturan dan hukum negara dan warga tempat para migrant Muslim ini mencari mata pencaharian), bagaimana seseorang agamawan yang baik dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya dan apa batas-batas kebolehan mengadop tata cara dan kebiasaan hidup kelompok lain di luar kelompoknya, atau semuanya memang telah tertutup rapat (pintu ijtihad ditutup) dan menjelma menjadi ghetto minded, yang eksklusif, Intolerant, militant, radikal dengan berbagai implikasi dan konsekwensinya?
Film keagamaan Ayat-Ayat Cinta berhasil memadukan dan mempertautkan antara normativitas al-Qur’an dan al-Sunnah dengan perkembangan historisitas kemusliman kontemporer lewat dialog para tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Semua peristiwa dalam novel merupakan refleksi dan implementasi dari ruh dan spirit al-Qur’an dan as-Sunnah dan dikuatkan oleh nas-nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah (Believe certain things; Hallow certain texts) dan dibarengi kata-kata bijak para ulama Islam dengan rujukan yang valid (Ideas and thought; Telling various stories). Tidak heran, jika muncul kutipan ayat-ayat al-Qur’an, al-Hadits (Hallow certain texts), atsar (Invest authority in certain personalities), qaul atau pendapat ulama dan sarjana Barat (Legitimate academic authorithy). Dari sini tampak bahwa novel dan film ini tampil beda dari novel dan film-film yang selama ini ada. Film yang mengangkat kehidupan sosial-budaya Islam agaknya tidak bisa lepas dari pengalaman fundamental keislaman tersebut.
Pengalaman fundamental tersebut, kemudian dilandingkan dan dihadirkan dalam konteks pergumulan historis-sosiologis-kultural kehidupan umat – khususnya kawula mudanya – sehari-hari. Historitas keberagamaan ini sudah barang tentu penuh dengan tafsir heremenutis oleh para aktor yang dipilih oleh penulis novel dan sekaligus sutradara film, yang terekam dalam wilayah action (perbuatan; tingkah laku sosial) maupun dalam wilayah fellowship (persahabatan, pergaulan, persekutuan, organisasi, lembaga-lembaga, institusi-institusi, pranata-pranata sosial). Proses eksternalisasi dan objektifikasi dan pada gilirannya internalisasi ada disini.[25] Bagaimana nilai-nilai agama , yang semula cuma bersifat eksklusif, tiba-tiba saja harus dimaknai ulang lewat diskusi dan dialog tentang pluralitas, toleransi dan kerukunan umat beragama, peran wanita dalam masyarakat kontemporer, poligami, pemahaman nation-state (jati diri bangsa), dan kritik sosial. Topik-topik ini sangat relevan dengan permasalahan kontemporer umat Islam dalam era globalisasi dan modernitas sekarang ini. Tema ini sangat diminati oleh banyak anak muda yang memang sedang mencari jati diri. Tetapi tidak disukai generasi tua yang lebih menginginkan status quo dalam segala hal, lebih-lebih dalam hal keberagamaan.
Dalam pluralitas etnis diwakili oleh latar etnik tokoh-tokoh dari Mesir Koptik (Kristen), Turki, Indonesia, Amerika dan lain-lain. Sedangkan pluralitas aqidah (Belief system; ideas dan thought) diwakili oleh Islam, Kristen Koptik, Pluralitas budaya dan adat diwakili Arab, Mesir, Indonesia, Turki, Jerman dan seterusnya. Tampak bahwa penulis novel dan sutradara sangat memahami kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi dan sedang mendera umat Islam dimanapun mereka berada ketika berhadapan dengan isu-isu modernitas dan tantangan pluralitas. Yang berbeda dari uraian sosiologi agama, yang umumnya menyandarkan kekuatannya pada data-data empiris di lapangan, dan juga berbeda dari theology-kalam yang umumnya berdasar pada kekuatan konseptual-filosofis, kelebihan novel yang diangkat di layar kaca lebar ini adalah terletak pada kekuatan suggestif-imaginatif yang dimaterialisasikan dalam bentuk audio visual (Material and visual dimension of religion).[26]
Setelah pluralitas dijadikan asumsi dasar yang tak terbantahkan dan tak terpisahkan dalam kehidupan sosial-keagamaan kontemporer, maka meluncurlah persoalan berikutnya yaitu bagaimana umat Islam seharusnya mengolah hati (heart), mengambil sikap (attitude) dan mengatur perilaku (bahaviour)? Pilihan penulis novel untuk memilih sikap hidup dan perilaku yang toleran dan kerukunan umat beragama tampak tercermin dalam kehidupan bertetangga (neighborhood) yang baik antara Fahri dan kawan-kawan yang Muslim dengan keluarga Boutros Girgis yang Kristen Koptik.[27] Juga bagaimana sikap Fahri dan Aisha terhadap Alicia (wartawati Amerika yang tertarik dengan ajaran Islam)[28]. Setting kehidupan sosial ini memang sangat mirip dengan kehidupan sosial di Indonesia dimana jumlah dan prosentase umat Islam dan Kristen hampir-hampir mirip dengan kondisi demografi sosial Mesir. Kondisi seperti ini akan berbeda jika setting sosialnya diambil dari Saudi Arabia dan Nigeria[29] misalnya.
Masih dalam permasalahan modernitas, dengan naiknya tingkat pendidikan wanita (the rise of education) hampir di seluruh dunia Muslim, maka problem turunannya adalah gender issues di dunia Muslim. Masih banyak yang dapat dieksplore dan didalami lebih lanjut disini, karena diskusi dalam novel atau film ini belum sampai masuk ke problem equity atau kesetaraan antara pria dan wanita yang lebih pelik. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia telah berani memutuskan jumlah perwakilan perempuan atau wanita di Dewan Perwakilan Rakyat adalah 30 persen dari seluruh anggota Dewan. Bagaimana agama dan partai politik menyahutinya? Novel dan film ini hanya menjelaskan secara normative bahwa memelihara dan mengangkat derajat kaum wanita adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran agama. Namun, belum menggambar langkah-langkah yang bersifat affirmative terhadap wanita dalam hal-hal yang terkait dengan urusan publik. Sikap Fahri terhadap kawan-kawannya putri, juga penjelasan Fahri terhadap Alicia yang menanyakan tentang pandangan Islam terhadap wanita mencerminkan bahwa problem Gender ini adalah wilayah hermeneutis yang cukup pelik bagi negara berpenduduk Muslim tertentu. Persoalan ini masih terus berkembang dan banyak film-film yang mengangkat tema wanita muslimah yang diproduksi dengan latar belakang kondisi sosial Iran, Afghanistan, Saudi Arabia sangat menarik untuk disimak dan diketahui.
Masih terkait erat dengan wanita adalah budaya poligami di dunia Islam. Penulis novel tampaknya menggarisbawahi bahwa poligami memang ada rujukannya dalam teks kitab suci[30] (Hallow certain texts), dan masih cenderung mengikuti budaya patriarchis yang membolehkan poligami. Hal itu tercermin dalam tampilan keluarga Fahri setelah menikah. Isu dan tema ini juga masih amat sangat kaya dengan variasi prakteknya dalam budaya-budaya Islam di seantero dunia. Bagaimana AA Gym, pengasuh pesantren Dar al-Tauhid, Bandung, yang dulunya sebagai da’i kondang dan muncul hampir di semua stasiun televisi di tanah air, kemudian tiba-tiba “menghilang” dari peredaran setelah terterpa kasus poligami yang memang ada rujukannya dalam teks. Secara teks memang valid, tetapi secara sosial-kultural dipertanyakan efektivitasnya dalam masyarakat. Hal-hal semacam inilah yang menjadi kajian keagamaan dengan menggunakan pendekatan hermeneutika keagamaan kontemporer yang tidak bisa ditutup-tutupi oleh siapapun dan dengan alasan apapun. Peristiwa hermeneutis semacam ini sangat kaya untuk didalami dan dicermati lebih lanjut sebagai bagian tak terpisahkan dari dampak modernitas (the rise education) bagi wanita dalam hubungannya dengan laki-laki setelah hidup dalam keluarga. Tema ini masih luas ruang lingkupnya, dan masih perlu waktu untuk dieksplore oleh novelis-novelis dan sineas-sineas muda kedepan.
Problem nation-state atau negara bangsa juga tidak luput dari garapan novel dan film ini. Perkembangan sejarah geopolitik internasional meniscayakan berdirinya negara-bangsa, yang dulunya dicukupkan oleh monarchy, theocracy, khilafah, kerajaan dan begitu seterusnya. Problem keummatan rupanya tidak berbenturan dengan ide negara-bangsa yang baru ini. Bahkan menurut tafsir hermeneutis Fahri, ia telah dapat melihat, berhubungan dan bergaul dengan orang atau kelompok lain tanpa memandang latar belakang etnis maupun agama-keimanannya. Tokoh utama Fahri dan tokoh figuran dari Indonesia yang lain memperlihatkan sikap dan perilaku bangsa Indonesia di negeri orang yang mencerminkan jati diri keindonesiaan yang tegas dan ramah terhadap siapapun tanpa memandang etnis dan keimanan atau agama sama sekali.
Tidak semua nilai-nilai yang masuk dari luar – betapapun modernnya dan terbukanya seorang tokoh seperti Fahri – tetap saja dia dapat menyeleksi dan mengkritik perilaku dan standar nilai yang dianggapnya tidak adil. Dalam dialog-dialog para tokoh yang terlibat, dengan cara halus ia mengkritisi masalah-masalah politik luar negeri Amerika Serikat, kualitas staf diplomatik negara-negara dunia berkembang dibandingkan kualitas diplomat dari negara-negara maju. Kehidupan moral, kehidupan rumah tangga, hubungan muda-mudi, kehidupan berbangsa dan bermasyarakat juga sedikit banyak dikritiknya. Artinya, dalam hermeneutika Islam, terjadi proses negotiating process yang keras dalam berbagai pertemuan dan berbagai perjumpaaan nilai, tata cara hidup, adat istiadat, norma , perilaku dan budaya pada umumnya pada tataran dunia global.
Catatan penutup.
Karya film keagamaan yang bagus-berkualitas dan karya novel yang dijadikan acuannya hanya bisa dilakukan lewat pendekatan hermeneutis seperti yang dijelaskan di depan. Hermeneutika Islam bukanlah mengajak menganut relativisme nilai, tetapi mengajak memperhalus budi dan mempetajam nilai-nilai kesantunan dan kepatutan. Hermeneutika juga bukan alat untuk meragukan validitas kitab suci – seperti yang sempat dituduhkan oleh sementara kalangan – tetapi sebagai alat analisis keilmuan untuk mencari dasar sumber kebijaksanaan (wisdom), kedalam batin (spirituality) dan kearifan keagamaan dalam altar hubungan sosial yang plural.
Dalam proses tafsir keagamaan yang bercorak hermeneutis memang terjadi pergumulan, perdebatan dan perbincangan yang keras-alot-sungguh-sungguh (jiddiy)-mendalam dengan menggunakan seperangkat alat teoritik-keilmuan (Knowledge), pengalaman (experience) dan keterampilan (skill) yang saling terhubung antara yang satu dan lainnya. Khususnya, ketika seseorang atau kelompok berjumpa dengan orang atau kelompok lain (the others) di tengah-tengah persilangan budaya dan agama dalam badai modernitas-globalisasi. Ada proses continuum antara eksklusifitas-inklusifitas, antara al-asalah dan al-mu’asarah, antara al-tsawabit (yang dianggap tetap dalam ajaran agama; menyangkut whatness nya agama) dan al-mutaghayyirat (yang berubah-ubah dalam agama; menyangkut howness nya agama) sampai ia terkunyah, melumat dan mengendap dalam bentuk pilihan akhir yang matang-argumentatif-rasional meskipun pilihan terakhir itu pun juga bersifat sementara, sehingga membuka peluang untuk bergerak kearah lebih baik jika kondisi memang membutuhkan demikian (al-amru idza dzaqa ittasa’a, wa idza ittasa’a dzaqa).
Novel dan film Ayat-Ayat Cinta adalah karya hermeneutis-sinematografis terbesar dalam sejarah perfilman di tanah air, paling tidak dilihat dari jumlah penontonnya. Karya film keagamaan yang disajikan lewat media budaya popular mempunyai sumbangsih dalam membentuk budaya dan kultur Islam yang damai, menghargai keberagamaan-kebhinnekaan dan membawa kemaslahatan bersama. Pendekatan hermeneutis Islam yang disajikan lewat media film modern rupanya cukup berhasil, tidak kaku, dalam meramu ke tujuh item objektifikasi agama dalam tatanan sosial-kultural – yang kemudian dikemas ulang lewat perantara media film yang menghibur, enak ditonton, edukatif (edutainment), rekonsiliatif, damai, toleran, tidak grusa-grusu, mendalam, dan bijak. Setiap karya hermeneutis biasanya selalu diakhiri dengan ungkapan Wallahu a’lam bi al-sawab (dan hanya Allah lah Yang Paling Tahu mana yang benar) dan Wa fauqa kulli dzi ‘ilmin aliim – (dan setiap kali ada orang yang pintar-cerdik-bijak pasti masih ada disana orang lain lagi yang lebih pintar-cerdik-bijak).
UIN Sunan Kalijaga, 10 Agustus 2008.
[1]Makalah ini disusun atas permohonan panitia Yogya-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2008, untuk disajikan dalam seminar bertajuk Sinema, Media dan Islam, Lembaga Indonesia Perancis (LIP), Sagan, Yogyakarta, 11 Agustus 2008.
[2]Alf G. Linderman, “Approaches to the Study of Religion in the Media” dalam Peter Antes, Armin W. Geerzt, Randi R. Warne, New Approaches to the Study of Religion: Textual, Comparative, Sociological, and Cognitive Approaches, Vol. 2, Berlin, Walter de Gruyter, 2004, h. 305.
[3]Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion, Garden City, N.J. : Doubleday, l967. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Langit Suci : Agama Sebagai Realitas Sosial, terjemahan Hartono (Jakarta: LP3ES, l994, h. 63.
[4]Joachim Wach, Sociology of Religion , Chicago, 1994.
[5]Untuk mendalami metode tafsir keagamaan dalam studi keislaman yang bernuansa sosial-hermeneutis dapat ditelaah lebih lanjut Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach, London and New York: Routledge, 2006, h.145-154. Juga Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, Oxford, Oneworld Publications, 2001.Telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Jakarta, Serambi, 2004.
[6] Novel Habiburrahman El Shirazy, Ayat-ayat Cinta (2004), yang kemudian di angkat menjadi film keagamaan paling spektakuler dalam sejarah perfilman di Indonesia, disutradarai Hanung Bramantyo dengan mengambil judul yang sama menunjukkan bahwa daya tarik dan pengaruh psikologis kitab suci masih sangat kuat dalam kehidupan umat manusia. Konotasi pembaca dan pendengar ketika mendengar dan membaca kata ”ayat-ayat”, maka secara spontan terarah ke kitab suci. Menggunakan kosa kata “ayat-ayat” saja sudah menunjukkan kecanggihan penulis novel dan sutradara film dalam memanfaatkan psikologi pembaca dan pendengar.
[7]Menyebut taken for granted sebenarnya juga menyederhanakan persoalan, karena menurut Tariq Ramadan setidaknya ada enam aliran besar tendensi pemikiran Muslim kontemporer yaitu Scholastic Traditionalism, Salafi Literalism, Salafi Reformism, Political Literalist Salafism, “Liberal” atau Rationalist” Reformism, dan Sufism. Masing-masing mempunyai pandangan, asumsi dasar, keyakinan, dan titik tekan yang berbeda-beda. Disinilah letak historitasnya. Singkatnya, pemikiran Islam tidak monolitik. Manusia beragama perlu terbuka dan menerima kehadiran orang, kelompok atau penafsir lain.Lebih lanjut Tariq Ramadan, Western Muslim and the Future of Islam, Oxford, University Press, 2004, h.24-30.
[8]Dalam hal ini Farid Esack memberi catatan penting sebagai berikut “Traditional Tafsir activity, however, always been categorized and these categories –, etc. Shi’ite, Mu’tazilite, Abbasid, Ash’arite – are acknowledged to say something about the affiliations, ideology, period, and social horizons of the commentators. Connections between the subject of interpretation, the interpreter, and the audience are rarely made. When this is the case, it is usually done with the intention of disparaging the work or the author, or they are made to underline the theological prejudices of the author. To date though, little has been written about these connections in an historical or literary-critical manner or about the explicit or implicit socio-political assumptions underlying their theological orientations; the central concern of contemporary hermeneutics”. lebih lanjut Farid Esack, The Qur’an: A User’s Guide, Oxford, Oneworld Publications, 2005, h.142-3.Cetak hitam dan cetak miring dari penulis.
[9]Asef Bayat, “Feeling at Home on the Margin”, dalam ISIM (International Institute for the Study of Islam in the Modern World) REVIEW, 21, Spring 2008, h. 5. Edisi khusus ISIM ini bertema khusus tentang Migrants, Minorities & the Mainstream.
[10]Stephen Sulaiman Schwartz, The Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in Terrorism, New York, Anchor Books, 2003. Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Dua Wajah Islam: Moderatisme vs Fundamentalisme dalam Wacana Global, Jakarta, Blantika, 2007.
[11]Omit Safi (Ed ), Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism, Oxford, Oneworld Publications, 2005.
[12]J. Naisbitt, Megatrends. Ten New Directions Transforming Our Lives, New York, Warner Books, l982, h.l32. Tambahan kata-kata ‘agama’ dari penulis.
[13]James L. Cox, A Guide to the Phenomenology of Religion : Key Issues, Formative Influences and Subsequent Debates, London dan New York, T & T Clark International, 2006, h.236.
[14]Peter L. Berger, Op.cit., h. 1-27.
[15]James L. Cox, loq cit, dalam menggarisbawahi pentingnya item-item tersebut menyatakan: “I argue that identifiable communities around the world perform certain activities, believe certain things, invest authority in certain personalities, hallow certain text, tell various stories and legitimate morality by reference to a non-falsifiable and purely postulated alternate reality… .These alternate realities are postulated by those in the community, not by me”. Cetak miring dari penulis. Sebagai bahan perbandingan Ninian Smart, Dimensions of the Sacred: An Anatomy of the World’s Beliefs, London, Fontana Press, l997.
[16]Alf G. Linderman, Op. cit, h. 308.
[17] Belajar dari kesuksesan yang luar biasa ini, penulis novel, Habiburrahman, sekarang sedang terlibat langsung dalam seleksi para calon pemeran dari film berikutnya yang juga akan berjudul sama dengan judul karya novelnya, yaitu Ketika Cinta Bertasbih. Periksa GATRA, 23 Juli 2008, h. 62-3. Perhatikan bagaimana penulis novel dan sutradara film masih konsisten menggunakan bahasa-bahasa agama, seperti bertasbih (Perform certain activities). Tema ‘cinta’ (Legitimate morality) masih dipertahankan karena masyarakat beragama belakangan sering terlibat konflik, lebih-lebih di era reformasi kehidupan politik yang berwajah multi-partai yang saling memojokkan dan menyingkirkan, panggilan untuk merangkul dan mencintai pasti menarik. Cinta, the religion of Love nya Jalaluddin al-Rumi adalah bersifat merangkul. Namun, kosa kata cinta dan tasbih dalam budaya agama ini lagi-lagi diobjektifikasikan lewat proses penglihatan hermeneutis yang canggih. Pergumulan pranata sosial keagamaan, kemasyarakatan, pergumulan politik, kegundahan psikologis atas tekanan ekonomi yang bertubu-tubi, perasaan insecure dalam menghadapi kehidupan kontemporer, kemudian diangkat dalam narasi novel yang memotret proses interaksi, pergumulan, dialog, negosiasi, kesepakatan, pemberontakan, tawar-menawar dalam altar kehidupan manusia modern-kontemporer-global . Proses manusiawi tersebut kemudian digubah dalam bentuk audio-visiual dengan menggunakan teknik-teknik pengambilan gambar dan setting yang menarik untuk disajikan dalam bentuk karya film.
[18] Baca Habiburrahman El Shirazy, Ayat-ayat Cinta, Jakarta, Penerbit Republika, Cet. XXIII, 2007, h.148.
[19] Ibid., h.142-4.
[20] Ibid., h.68-9 dan 196.
[21] Ibid., h.144.
[22] Ibid., h.23-7.
[23] Ibid., h.73-8.
[24] Ibid., h.41-56.
[25]Dalam proses internalisasi nilai-nilai inilah, film sebagai media pendidikan memperoleh tempat yang wajar. Pada dataran ini Film as one voice among others in a complex social conversation dapat diapresiasi. Dialog, percakapan, pergumulan , refleksi, pembelajaran, pembentukan sikap, pilihan-pilhan dan keputusan-keputusan yang diambil akan sedikit banyak mempengaruhi pemirsa-penonton dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya kedepan.
[26] Film dan media sebagai bagian objek studi agama memang relatif baru dan masih terus berkembang – masih ongoing process. Meskipun begitu penulis sependapat dengan Margaret Miles yang mengatakan bahwa “…to study popular film to explore how film and popular culture contribute to the structuring of our everyday life experiences and how values and fundamental perspectives on life and reality are cultivated in the process”. Dikutip dari Alf G. Linderman, Op. cit., h.313.
[27] Baca Habiburrahman El Shirazy, Op.cit., h.112-4.
[28] Ibid., h.54-5 dan 94-101.
[29] Informasi mutakhir tentang hubungan Islam dan Kristen di Afrika, lebih lanjut periksa Georg Kirchberger dan John Mansford Prior (Eds.), Bersaing atau Bersahabat ? Dakwah Islam-Misi Kristen di Afrika, Maumere, Penerbit Ledalero, 2008.
[30] Baca Habiburrahman El Shirazy, Op.cit., h.288, 290, dan 376-8.
terima kasih prof, beberapa waktu terakhir saya mencari tulisan sejenis, tulisan ini yang pelaing serius
Menarik, Prof. di Kompas memang pernah juga ada tulisan tentang film ini tapi dalam perspektif lain. Yang barangkali penting juga mendapat sorotan adalah mengapa “nyrempet ke poligami untuk menciptakan tragedi. Keberadaan poligami di film tersebut mengesankan bahwa Islam identik dengan poligami dan istri tua hanya harus sabar dan sabar dalam hal ini diimingi pahala besar.
Ach. Maimun
PP Annuqayah
Guluk-guluk Sumenep Madura
terima kasih prof.amin. model kajian yang mendalam dan luas,
Pada mulanya ‘hermenetika’ adalah kajian ilmiah tentang cara melihat,memahami atau menafsirkan segala suatu berdasar sudut pandang (manusia) yang melihatnya dari berbagai aspek : bahasa,sejarah,budaya dlsb. (yang berhubungan dengan ruang-waktu manusia).sepanjang gagasan demikian digunakan diluar bahasan masalah agama mungkin tidak perlu terlalu dikawatirkan,tapi bila sudah mulai ‘mengetuk pintu’ agama maka kita harus hati hati sebab kita akan mendapatkan ‘tamu’ yang kelak ternyata terbukti menimbulkan banyak masalah.dan memang ‘tamu’ yang datang ternyata berbeda beda serta menawarkan konsep yang berbeda beda.
‘Hermenetika’ adalah semacam kacamata sudut pandang manusia yang biasa digunakan untuk ‘menyaring’ penafsiran manusia terhadap kitab suci agar hasilnya bersesuaian dengan kacamata sudut pandang sang penggagas,yang biasanya mengacu pada prinsip agar ‘bersesuaian dengan parameter ke kini an,misal bersesuaian dengan prinsip kacamata sudut pandang ‘modernisme’ atau yang lainnya. dengan kata lain secara halus sang penggagas sebenarnya ingin mendoktrin atau mengendalikan cara berfikir manusia agar cara pemahaman manusia terhadap agama mengikuti bingkai pemahamannya. Sang penggagas (hermenetika) juga menerapkan beragam syarat ‘ilmiah’ yang ketat sebelum orang mendefinisikan agama sebagai ‘kebenaran’ yang diyakini secara mutlak,sang penggagas (bisa saja) ingin agar manusia ‘meragukan apa yang selama ini diyakininya’ karena ‘kondisi dan keadaan dianggap sudah berbeda dengan saat kitab suci diturunkan’,maka karena itu sang penggagas menyiapkan ‘cara pemahaman baru’.
Dengan kata lain bila kita menggunakan kacamata penggagas hermenetika dalam cara menafsirkan atau mendeskripsikan agama maka bisa jadi kita sebenarnya (sadar atau tidak ) sedang digiring (atau di doktrin ?) untuk memahami sesuatu berdasar kacamata sudut pandang penggagas,sehingga bisa jadi kita tidak lagi bebas menggunakan hati nurani dan akal fikiran kita dalam menafsirkan kebenaran agama.
Tapi jangan lupa bahwa konsep kebenaran mutlak (yang menjadi konstruksi agama) adalah konsep kebenaran yang bersifat hakiki dan abadi tak bisa diubah oleh manusia,dan konsep demikian hanya bisa dibaca oleh orang yang memiliki hati nurani (ruhani) dan akal yang jernih-kuat dan cerdas.jadi yang tak bisa dikutak katik atau diubah penggagas hermenetika adalah essensi.
Dan penafsiran terhadap kitab suci sebenarnya lebih bergantung pada niat hati manusia,bila niat untuk tunduk dan patuh pada Tuhan tentu,hasilnya pasti akan lain dengan bila menafsirkan kitab suci dengan tujuan hanya untuk berwacana,beropini atau berdebat semata.
Tanpa kacamata baca ala ‘hermenetika’ sekalipun sebenarnya manusia secara alami sudah diberi atau dibekali Tuhan hati dan akal sebagai alat untuk menangkap-memahami serta mengelola kitab suci,bila melihat dengan kacamata ‘nurani’ dan akal yang bersih (murni tidak didoktrin oleh manusia) pasti beda dengan bila menggunakan doktrin ‘saringan’ yang dibuat oleh manusia.
Hati nurani yang tulus menangkap maksud-pesan Tuhan secara tepat-autentik sebagaimana aslinya seperti pesawat televisi menangkap siaran stasion pemancar,karena untuk maksud itulah Tuhan menciptakan hati. (inilah yang sering ‘dipermasalahkan penggagas hermenetik,mereka seperti tidak memahami dan tidak menghayati peran hati,karena sebagian penggagas terlalu sering bermain di wilayah ‘otak’ dalam mengkaji agama).
Agama hasil saringan kacamata hermenetika seringkali merupakan ‘agama’ yang sudah tidak otentik lagi karena sudah diramu,dikemas,dibingkai oleh berbagai keinginan manusia yang beraneka ragam diantaranya untuk ‘mengendalikan’ agama,atau menjdi tidak murni karena sudah tercampur dengan berbagai bentuk pemikiran bebas manusia,yang berasal dari niat atau motivasi yang beragam.
’agama’ hasil saringan penggagas hermenetika bisa saja menjadi seperti ibarat buah yang sudah kehilangan saripatinya sehingga rasanya menjadi hambar,itu bisa terjadi bila dicampur dengan keinginan keinginan manusiawi yang bukan ingin tulus menyembah Tuhan.
Agama akan terjaga keasliannya bila ditafsir oleh orang orang yang tulus-ikhlas yang menafsirkan agama semata karena ingin menegakkan agama Ilahi dimuka bumi,tapi bayangkan bila ditafsir oleh orang yang ingin agama ditafsir dan dikendalikan oleh ‘pemikiran bebas manusia’ (?)
Memang bisa beda jauh hasil kajian agama bila dilihat dengan kacamata agama (yang telah disediakan dalam kitab suci) dengan kacamata penggagas hermenetik,missal : bila dengan kacamata agama kita melihat dan memahami agama sebagai konsep kebenaran mutlak maka bila kita melihatnya dengan kacamata hermenetika bisa saja kebenaran agama akan nampak ‘relatif’ (jadi terbalik 180 derajat!). itu adalah suatu contoh nyata bagaimana pembalik an makna mudah terjadi hanya karena kita menggunakan kacamata yang berbeda.
Nah berarti pada garis besarnya ada dua ‘kacamata’ untuk melihat dan memahami agama,pertama adalah kacamata Ilahi sebagaimana yang telah diajarkan oleh kitab suci,dan kedua : ‘kacamata isme’ atau kacamata sudut pandang buatan manusia,yang salah satunya adalah kacamata penggagas hermenetika.
Kesimpulannya : bukan berarti semua yang lahir dari wacana hermenetika (yang membahas masalah agama sebagai keliru) karena hal itu kembali kepada niat si penggagas.sebab apapun yang lahir dari pemikiran manusia harus selalu kita saring (karena selalu terbagi kepada benar dan salah),tulisan ini setidaknya mengantisipasi kesalahan yang telah atau bisa atau mungkin terjadi silahkan di paralelkan dengan kenyataannya…..jadi bukan menghakimi secara saklek,hitam-putih tapi mengajak siapapun untuk berhati hati dan waspada dengan ‘kacamata sudut pandang manusia’.
Jadi bila kita ingin menafsir serta memahami agama-kitab suci agar tidak jatuh kepada ‘kesalah fahaman’ menurut penggagas hermenetik,jalan terbaik bagi kita adalah harus menguatkan niat : untuk apa kita berusaha memahaminya dan kedua membersihkan hati dari niatan niatan yang negative, dengan kata lain kita harus membersihkan hati kita se bening mungkin,karena hati lah (bukan otak) yang kelak akan menangkap essensi agama.
Sebagaimana sebuah produk elektronik hanya bisa difahami hanya bila kita membaca buku panduan yang dikeluarkan oleh pabrik pembuatnya,begitu pula kitab suci hanya bisa difahami (secara utuh) hanya bila kita menggunakan kacamata sudut pandang Tuhan serta panduan cara memahaminya yang ada dan diajarkan dalam kitab suci tersebut.dan mohon pertimbangkan hal ini sebelum kita mencoba melihat agama dengan berbagai kacamata produk penggagas hermenetika (termasuk juga berbagai kacamata buatan manusia seperti isme isme tentunya).
Kitab suci mengajarkan bahwa kita harus menggunakan hati nurani dan akal (yang sehat) dalam membaca dan memahami kitab suci,dan manusia tidaklah bisa menggunakan keduanya bila fikirannya dikendalikan atau didoktrin oleh pandangan pandangan tertentu yang berasal dari kacamata sudut pandang manusia yang melihat dan memperlakukan agama bukan dengan tujuan sebagaimana yang diinginkan oleh Tuhan.jadi apakah memilih bebas menggunakan hati nurani dan akal atau memilih untuk didikte atau didoktrin oleh kacamata sudut pandang manusia tertentu yang memberi banyak ‘syarat’ bagi sesuatu untuk disebut ‘kebenaran’ menurut versi mereka,sedang hati nurani dan akal itu tembus ruang dan waktu artinya tidak mengenal kebenaran yang dibatasi oleh : ruang-waktu,sejarah, budaya,bahasa dlsb.yang banyak dipermasalahkan oleh penggagas hermenetika.
Kitab suci tidak memberi syarat yang rumit dan pelik untuk memahami agama,tidak mengajarkan harus mengkaji atau selalu mengaitkannya dengan factor bahasa,sejarah,budaya,ruang-waktu dlsb.sebab pada dasarnya sebenarnya sudah memadai bila menangkap kebenaran agama dengan hati yang bersih dan akal yang sehat (cara berfikir yang tertata-sistematis tidak spekulatif).sehingga sekali lagi faktor yang terpenting dalam membaca dan memahami agama sebenarnya adalah faktor ‘jiwa’ (hati dan akal) sebagai alat baca,sedang pengetahuan yang biasa digumuli oleh penggagas hermenetik (sepanjang benar) sebenarnya hanya alat bantu atau pelengkap yang tidak menjadi syarat utama bagi pemahaman agama.sebaliknya bila pemikiran penggagas hermenetik bertentangan dengan essensi agama maka yang harus dibuang tentu pendapat atau pandangan manusiawi.
Sebab faktor : bahasa,sejarah,budaya,ruang-waktu dlsb.dalam agama semua itu hanya perkakas – alat atau ‘kulit luar’ atau masalah ‘teknis’ yang seharusnya jadi faktor pelengkap belaka bukan essensi yang menjadi pokok atau tujuan,sebab pemahaman agama itu bermuara pada pemahaman tentang hal hal yang bersifat essensial bukan pada hal hal yang serba bersifat ‘teknis’.coba fikirkan bila dalam kepala menumpuk sekumpulan ilmu yang membahas agama sampai kepada hal hal yang bersifat teknis yang bersangkutan dengan agama tapi dalam hati kosong dari pemahaman serta penghayatan terhadap essensi agama (?)
Saya memberi contoh : dewasa ini banyak intelektual yang dalam kepalanya menumpuk ‘ilmu’ tentang agama atau seputar masalah keagamaan,tapi ia antipati terhadap klaim kebenaran mutlak agama Ilahi atau cenderung berpandangan pluralistik terhadap kebenaran agama,padahal konsep kebenaran mutlak adalah essensi agama Ilahi yang paling utama sehingga bila essensi itu dibuang maka yang dipegang oleh seseorang sebenarnya adalah tinggal ‘kulit’nya belaka(yang sudah tanpa isi).(ini sesuai dengan sabda Rasul : bahwa diakhir zaman tiadalah yang tinggal dari agama kecuali kulit luarnya belaka).
Reblogged this on priyonisme.